5 cm


5cm
5cm

Ini dia film yang heboh banget. Diangkat dari Novel National Best Seller, tentu film ini menjadi salah satu film yang dinantikan. Sudah banyak tulisan mengenai film ini, dari review-nya, pengaruhnya, maupun dampak lingkungan pada saat pembuatannya. 5 cm menjadi salah satu film terlaris di Indonesia.

Secara umum, film ini menghibur, terutama pada setengah bagian pertama film. Banyak kelucuan yang memang lucu dan menghibur. Sayangnya tak ada lagu-lagu yang termuat di novelnya (mungkin karena masalah hak cipta), padahal itu salah satu daya tarik novelnya. Namun memasuki saat saat yang dinantikan (atau lebih tepatnya aku nantikan), yaitu bagian pendakiannya, film ini terasa datar. Memang, ini bukan film petualangan tetapi film mengenai persahabatan dan bagaimana mencapai impian, tapi sayang kalau penggarapan bagian pendakiannya tidak maksimal. Ketika para tokoh melakukan perjalanan, sepertinya adegan-adegan yang ada hanya sepintas lalu, tidak mengena. Seandainya bisa digarap seperti film “The Way”, perjalanan yang sederhana terasa bermakna dengan adegan-adegan perbincangan yang ringan tapi dalam, ditambah teknik pengambilan gambar yang mampu memaksimalkan keindahan bentangalam. Keindahan Semeru baru terasa ketika ada pengambilan gambar dari udara.

Detail pendakian entah kurang digarap dengan baik atau memang mempertimbangkan faktor “WOW’ atau faktor lainnya. Pada saat adegan sang pemain berbalas pantun di atas jeep, bagi yang pernah ke Semeru maka akan terasa aneh. Jeep yang ditumpanginya menghadap ke barat, berarti sedang perjalanan pulang. Padahal mereka baru mau ke Ranu Pani. Belum lagi ada adegan melintasi padang pasir Bromo, wah bayar berapa tuh jeep-nya kalau mau naik Semeru pake mampir ke Bromo? Naik Jeepnya pun dari stasiun, wah..mahal banget sewa jeep-na. Ketika para tokoh berbalas kata kata indah juga terasa aneh..terlalu dipaksakan.

Pada saat adegan tertimpa batu juga rada rada berlebihan. Batu yang dipilih terlalu berlebihan….besar sekali. Kalau benar tertimpa batu sebesar itu pasti akibatnya lebih fatal. Adegan di sepanjang Cemoro Tunggal – Puncak ini bagiku terasa aneh atau berlebih. Klimaksnya pas sampai puncak…udah banyak pendaki lain juga yang ikut upacara. Tapi di sepanjang perjalanan tidak diperlihatkan mereka bertemu pendaki lain kecuali di camp.

Dari segi perlengkapan pendakian sebenarnya sudah cukup baik untuk pemula. Semua tokoh menggunakan sepatu pendakian, mengenakan jaket (rata rata TNF), sarung tangan, kupluk, dan sebagainya. Hanya saja, masih menggunakan jeans. Jeans sebenarnya tidak cocok untuk pendakian karena menyerap keringat dan lama keringnya. Walaupun banyak yang mencibir pemakaian jeans di film ini, sebenarnya hal seperti ini jamak ditemui di Indonesia. Jangankan para pendaki pemula, para pendaki yang malang melintang atau para pendaki yang tergabung dalam organisasi pencinta alam pun masih sering saya temui menggunakan jeans, bahkan lebih parah, menggunakan sandal kala pendakian.

Sepertinya film ini terlalu memaksakan semua masuk ke dalam cerita, mulai dari persahabatan, petualangan dan nasionalisme. Sayangnya, aku menangkapnya semua serba nanggung… Ah..setidaknya ada satu yang akan selalu diingat……….. ”G-String, Ple….”

5 Comments Add yours

  1. fotonya apik, mas…

    1. akuntomo says:

      pastinya dong :p

      1. dan satu lagi info penting dari si juple, G-S****G itu sepertinya masup pada perlengkapan pendakian UL

        #wakaka…disambit kerir sama para pendaki

  2. G-string ple…
    terus ada malaikat dan setan..
    momen yg sangat indah, yg lain dah biasa ditemui…
    Wkwkwkkww…

    1. akuntomo says:

      haha om rheza jangan lupa sering sering beli DVD natgeo ma discovery seperti Ian

Leave a reply to akuntomo Cancel reply