Merbabu via Selo, pendakian “solo” pertama -2012-


Pendakian merbabu via selo merupakan pendakian solo pertama. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi memang tanggal 12 – 13 mei tak ada kawan yang pas waktunya. Pendakian ini juga untuk pembuktian diri, bukan ke siapa siapa, tapi ke diri sendiri, bahwa aku mampu dan siap dengan kemampuan dan pengetahuanku untuk melakukan pendakian ini sendiri. Tentu pemilihan jalur selo selain belum pernah, memiliki keindahan pemandangan, juga karena merupakan salah satu jalur yang ramai. Setidaknya, untuk pendakian solo pertama, masih dimungkinkan bertemu pendaki lain untuk mengurangi resiko.

Tantangan awal yang ditemui adalah mencari basecamp selo. Riset pra pendakian yang sangat singkat dipadu dengan rusaknya GPRS ponsel membuat aku bertanya ke sana ke mari kepada warga mengenai letak basecamp pendakian merbabu. Sesampainya di Basecamp dusun genting, banyak pendaki yang sedang duduk duduk. Ternyata mereka adalah para pendaki yang baru saja turun. Berkeliling Basecamp, tak ada satu pun yang hendak naik. Akhirnya memutuskan untuk segera naik seorang diri sebelum hari gelap.

Jalur Selo berada pada wilayah Taman Nasional Gunung Merbabu sehingga pada awal perjalanan kita akan disuguhi berbagai pohon berukuran besar. Di dearah sini juga banyak terdapat berbagai jenis burung aneka warna. Sangat menarik sehingga perjalanan sendirian tidak membosankan. Jelang pos I, terdengar suara percakapan dua orang. Ternyata mereka pendaki rombongan dari Solo yang terdaftar sebelum aku di buku tamu. Harapan mendapat teman perjalanan pupus karena mereka berencana hanya menunggu teman teman mereka turun di pos I. Ngobrol sebentar di Pos I, aku lanjutkan perjalanan mengejar waktu sebelum gelap dan juga pemandangan di Pos I kurang menarik. 100 meter dari Pos I terdapat percabangan (yng ternyata merupkan percabangan jalur baru dan jalur lama). Pada awalnya memilih jalur kiri, namun 50 meter berjalan, jalur ini terasa jarang dilalui dan sempit. Akhirnya memutuskan balik dan memilih jalur yang menurun (kanan). Jalur ini lebih lebar, padat karena sering dilalui, dan terdapat sampah pembungkus makanan yang masih baru (fakta ironis, jalur yang benar jalur yang banyak sampah). Jalur ini menyusuri tepi lembah dan masih berada di kawasan hutan hujan pegunungan. Di tengah perjalanan menyempatkan menyeleksi kayu untuk dijadikan trekking pole. Untungnya karena ini jalur umum, banyak “trekking pole” tinggalan pendaki sebelumnya jadi tak perlu repot repot memotong dahan.

Asik mengabadikan hijaunya hutan yang lembab dan ditumbuhi lumut ini, terdengar suara sekelompok orang. Ternyata mereka adalah rombongan pendaki dari Solo yang turun. Rombongan yang besar dengan jumlah pendaki sekitar 15 orang, dan sepertinya mereka tidak muncak, jika dihitung dari durasi naik hingga turun, dan perbekalan yang ada. Tak lama setelah bertemu rombongan, sampai di Pos II. Pos ini berada di wilayah peralihan hutan hujan dan hutan sub alpin. Tak ingin berlama lama segera lanjut ke pos III.

Perjalanan pos III lebih menarik karena sudah memasuki zona sub alpin sehingga pemandangan lebih lapang dan di beberapa tempat dapat melihat merapi yang berada di seberang. Ketika sampai di Pos III Watu tulis, waktu menunjukkan pukul 17.00. Suhu udara yang mulai bikin gemetar, dan pemandangan yang aduhai (puncak merapi yang diterpa sinar matahari sore), kuputuskan untuk beristirahat di pos III. Isitrahat yang disertai foto foto dan makan snack ini juga untuk mempersiapan perjalanan malam hari. Jaket fleece TNF andalan, kupluk, dan headlamp mulai dikeluarkan. Setelah siap, lanjut perjalanan dengan target antara sabana II atau Puncak. Perjalanan terasa makin berat karena kemiringan jalur makin tinggi. Di sini napas mulai tersengal dan melambat. Dari kejauhan terlihat si kembar sumbing sindoro berlatarkan langit kuning keemasan, sedang pada jarak yang lebih dekat, puncak merapi dengan gagahnya diterpa sinar matahari senja. Pemandangan yang spektakuler, jadi makin jatuh cinta dengan jalur ini.

“ngeksis” di Pos III

Ketika sinar matahari perlahan menghilang, angin makin kencang…dan dingin. Dan senjata terakhir dikeluarkan, jaket trespass ijo. Dengan 3 lapis baju yang sangat textbook, lanjut lagi ke atas. Sesekali menoleh ke bawah..tak ada tanda tanda pendaki lain. Pemandangan di atas pun sama. Dan akhirnya mencapai sabana I.  Ada beberapa pendaki yang berkemah di sini, di balik kumpulan pohon, sehingga tidak terlihat dengan jelas. Semangat kembali meninggi karena sudah dekat dengan sabana II. Jalan makin cepat, setelah melintasi sebuah bukit, sampai di sabana II. Disana terdapat sebuah tenda dan bertemu dengan tiga pendaki yang baru turun gunung. Saling sapa dan ngobrol sebentar, dan didapat info tak jauh dari sabana terdapat tempat berkemah yang nyaman. Sip. Memutuskan ngecamp di sana saja daripada puncak yang banyak anginnya. Mengucapkan selamat jalan kepada rombongan pendaki tersebut *sambil ngelirik gear dewa yang dibawa para pendaki*, lanjut ke calon tempat berkemah.

Di tempat berkemah ini, ternyata sudah ada sebuah tenda yang berdiri (yang ternyata storm 2 juga, wah serasa sedang test alat). Saling sapa dengan penghuni storm 2 lainnya, aku mulai menurunkan ransel dan memasang tenda sambil ngobrol. Ternyata mereka pendaki dari UGM. Seteleh bertukar cerita, mereka termasuk pendaki pengalaman dengan daftar gunungh yang telah didaki sangat panjang..dari sumatera, jawa, nusa tengga hingga Sulawesi. Wah..salut..ditambah bekal makanan mereka yang super lengkap, ini tipe pendaki yang menikmati perjalanan. Jam 9.00, kami sudah masuk lapak masing masing. Lokasi berkemah ini memang terlindung dari angin, namun tidak terlindung dari suara suara pendaki lain. Mulai dari sekelompok pendaki yang baru datang dan memutuskan berkemah, sampai kelompok pendaki yang terpisah dan berkomunikasi jarak jauh dengan berteriak teriak –‘). Bittersweet campsite.

tumben nginep di tenda sendirian, naruh barang pun bisa sesukanya (bertebaran dimana mana)
kembaran stormy

Pukul 04.00..bukan karena alarm, tapi karena ada kelompok pendaki yang tiba, berseliweran sekitar tenda dan ribut. Akhirnya membuka tenda…ngeluarin alat, dan bikin oatmeals. Satu jam kemudian mulai summit attack, lagi lagi sendiri karena rombongan UGM sebagian masi tidur. Summit kali ini tidak membawa beban, hanya kamera dan air 600ml. Tenda dititipkan ke anak anak UGM. Tak sampai satu jam sudah tiba di puncak triangulasi..yang sangat ramai dengan banyak tenda.

merah putih di puncak triangulasi

Satu jam menikmati puncak, lalu memutuskan turun, kemudian berkemas kemas. Karena sendiri dan diselingi bercakap cakap, berkemasnya cukup lama. Beres semua..langsung pamit dan turun. Awalnya semua lancar, menyalip beberapa rombongan, dan kemudian berjalan bersama seorang dari Boyolali yang berada jauh di depan rombongannya. Sampai di sebuah bukit, dia memutuskan menunggu temannya dan aku pun lanjut sendiri. Melintasi bukit, melewati “kebun sabana” dan menuruni bukit, mulai merasa ada yang aneh. Sampai di jalur yang dipenuhi ilalang mulai sadar…ini bukan jalur pas naik, karena kemarin tidak melintasi ilalang. Lanjut terus hingga memasuki hutan, akhirnya melakukan S.T.O.P, berhenti dan duduk (sit)…berpikir (think)…orientasi dan observasi (orientation/observation)… Jalur cukup lebar, ada beberapa sampah plastik pembungkus makanan dan botol. Lalu mulai mengecek foto peta jalur yang kuambil dari basecamp. Sepertinya ini jalur barat yang menuju pos I, namun ditengah tengah panah terdapat lambang tengkorak (!!). Berpikir, kabut mulai naik, sehingga orientasi sangat sulit, akhirnya memutuskan kembali ke atas bukit (planning). Cukup banyak menghabiskan energi juga perjalanan balik ini.

Di atas bukit dekat dekat “kebun” edelweiss, mencoba orientasi tapi gagal, karena kabut yang sudah menyelimuti bukit. Akhirnya memutuskan untuk menunggu pendaki lain. “pertolongan” pun tiba, setelah bertegur sapa, melanjutkan perjalanan dengan ngekor. Tapi ternyata jalur yang dipilih sama dengan jalur aku nyasar. Ternyata ini memang jalur lama dan nanti akan sampai di pos I. Agak menyesal tadi tidak meneruskan perjalanan. Setelah dicek dengan peta dari penelitian IPB, ternyata jalur ini sudah terpetakan. Di sini tambah menyesal karena tidak melakukan riset dan pengecekan lebih teliti. Seharusnya semua bisa berjalan dengan baik tanpa harus panik. Sebuah pengalaman dan pelajaran yang baik untuk kedepan. Tengah hari akhirnya sampai di Basecamp. Tak berlama lama langsung balik ke jogja.

kabut tebal yang mempersulit orientasi medan
dan akhirnya…muncul pendaki lain…ngekor dah

Benar juga kata orang, pendakian “solo” lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, apalagi kalo nyasar. Karena tak ada teman, maka satu-satunya yang kita ajak bicara hanya Tuhan…memohon keselamatan..dan mengandalkan penyertaan-Nya dalam perjalanan kita.


2 Comments Add yours

  1. banyak kesimpulan yang menarik di sesi ini ^.^
    #tentang sampah plastik dan tuhan__pernah mengalaminya#

    1. akuntomo says:

      Sensasi “nyasar” sendirian emang patut dicoba

Leave a comment